1. Kerajaan Pertama di Gunung Merapi
1. MAHARAJA YANG
BERMAHKOTA
Dikatakan pula oleh Tambo, bahwa dalam pelayaran
putera-putera Raja Iskandar Zulkarnain tiga bersaudara, dekat pulau Sailan
mahkota emas mereka jatuh ke dalam laut. Sekalian orang pandai selam telah
diperintahkan untuk mengambilnya. Tetapi tidak berhasil, karena mahkota itu
dipalut oleh ular bidai di dasar laut. Ceti Bilang Pandai memanggil
seorang pandai mas. Tukang mas itu diperintahkannya untuk membuat sebuah
mahkota yang serupa. Setelah mahkota itu selesai dengan pertolongan
sebuah alat yang mereka namakan “camin taruih” untuk dapat menirunya dengan
sempurna. Setelah selesai
tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi. Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah. Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum, kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang.
tukang yang membuatnya pun dibunuh, agar rahasia tidak terbongkar dan jangan dapat ditiru lagi. Waktu Sri Maharaja Diraja terbangun, mahkota itu diambilnya dan dikenakannya diatas kepalanya. Ketika pangeran yang berdua lagi terbangun bukan main sakit hati mereka melihat mahkota itu sudah dikuasai oleh si bungsu. Maka terjadilah pertengkaran, sehingga akhirnya mereka terpisah. Sri Maharaja Alif meneruskan pelayarannya ke Barat. Ia mendarat di Tanah Rum, kemudian berkuasa sampai ke Tanah Perancis dan Inggris. Sri Maharaja Dipang membelok ke Timur, memerintah negeri Cina dan menaklukkan negeri Jepang.
2. Galundi Nan Baselo
Sri Maharaja Diraja turun sedikit ke bawah
dari puncak Gunung Merapi membuat tempat di Galundi Nan Baselo. Lebih ke baruh
lagi belum dapat ditempuh karena lembah-lembah masih digenangi air, dan kaki
bukit ditutupi oleh hutan rimba raya yang lebat. Mula-mula dibuatlah
beberapa buah taratak. Kemudian diangsur-angsur membuka tanah untuk dijadikan
huma dan ladang. Teratak-teratak itu makin lama makin ramai, lalu tumbuh
menjadi dusun, dan Galundi Nan Baselo menjadi ramai. Sri Maharaja
Diraja menyuruh membuat sumur untuk masing-masing isterinya mengambil air. Ada
sumur yang dibuat ditempat yang banyak agam tumbuh dan pada tempat yang
ditumbuhi kumbuh, sejenis tumbuh-tumbuhan untuk membuat tikar, karung, kembut
dsb. Ada pula ditempat yang agak datar. Ditengah-tengah daerah itu mengalir
sebuah sungai bernama Batang Bengkawas. Karena sungai itulah lembah Batang
Bengkawas menjadi subur sekali. Beratus-ratus tahun kemudian setelah
Sri Maharaja Diraja wafat, bertebaranlah anak cucunya kemana-mana, berombongan
mencari tanah-tanah baru untuk dibuka, karena air telah menyusut pula. Dalam
tambo dikatakan “Tatkalo bumi barambuang naiak, aia basintak turun”. Keturunan
Sri Maharaja Diraja dengan “Si Harimau Campa” yang bersumur ditumbuhi agam
berangkat ke dataran tinggi yang kemudian bernama “Luhak Agam” (luhak = sumur).
Disana mereka membuka tanah-tanah baru. Huma dan teruka-teruka baru dikerjakan
dengan sekuat tenaga. Bandar-bandar untuk mengairi sawah-sawah dikerjakan
dengan sebaik-baiknya. Keturunan “Kambing Hutan” membuka tanah-tanah baru
pula di daerah-daerah Gunung Sago, yang kemudian diberi nama “Luhak 50 Koto”
(Payakumbuh) dari luhak yang banyak ditumbuhi kumbuh. Keturunan
“Anjing yang Mualim” ke Kubang Tigo Baleh (Solok), keturunan “Kucing Siam” ke
Candung-Lasi dan anak-anak raja beserta keturunannya dari si Anak Raja bermukim
tetap di Luhak Tanah Datar. Lalu mulailah pembangunan semesta membabat hutan
belukar, membuka tanah, mencencang melateh, meneruka, membuat ladang,
mendirikan teratak, membangun dusun, koto dan kampung.
3. Kedatangan Sang Sapurba
Tersebutlah kisah seorang raja bernama Sang
Sapurba. Di dalam tambo dikatakan “Datanglah ruso dari Lauik”. Kabarnya
dia sangat kaya bergelar Raja Natan Sang Sita Sangkala dari tanah Hindu. Dia mempunyai
mahkota emas yang berumbai-umbai dihiasai dengan mutiara, bertatahkan permata
berkilauan dan ratna mutu manikam. Mula-mula ia datang dari tanah
Hindu. Ia mendarat di Bukit Siguntang Maha Meru dekat Palembang. Disana dia
jadi menantu raja Lebar Daun. Dari perkawinannya di Palembang itu dia
memperoleh empat orang anak, dua laki-laki yaitu Sang Nila Utama, Sang Maniaka;
dua perempuan yaitu Cendera Dewi dan Bilal Daun. Pada satu hari Sang
Sapurba ingin hendak berlayar menduduki Sungai Indragiri. Setelah lama
berlayar, naiklah dia ke darat, akhirnya sampai di Galundi Nan Baselo. Waktu
itu yang berkuasa di Galundi Nan Baselo ialah Suri Dirajo, seorang dari
keturunan Sri Maharaja Diraja. Suri Diraja tekenal dengan ilmunya yang tinggi,
ia bertarak di gua Gunung Merapi. Karena ilmunya yang tinggi dan pengetahuannya
yang dalam, ia jadi raja yang sangat dihormati dan disenangi oleh penduduk
Galundi Nan Baselo dan di segenap daerah. Ia juga bergelar Sri Maharaja Diraja,
gelar yang dijadikan gelar keturunan raja-raja Gunung Merapi. Anak
negeri terheran-heran melihat kedatangan Sang Sapurba yang serba mewah dan
gagah. Orang banyak menggelarinya “Rusa Emas”, karena mahkotanya yang
bercabang-cabang. Oleh karena kecerdikan Suri Dirajo, Sang Sapurba dijadikan
semenda, dikawinkan dengan adiknya bernama Indo Julito. Sang Sapurba adalah
seorang Hindu yang beragama Hindu. Dia menyembah berhala. Lalu diadakan tempat
beribadat di suatu tempat. Tempat ini sampai sekarang masih bernama Pariangan
(per-Hiyang-an = tempat menyembah Hiyang / Dewa). Dan disitu juga terdapat
sebuah candi buatan dari tanah tempat orang-orang Hindu beribadat. Ada juga
yang mengatakan tempat itu adalah tempat beriang-riang.
4. Raja yang Hanya Sebagai
Lambang
Sang Sapurba lalu dirajakan dengan memangku
gelar Sri Maharaja Diraja juga. Tetapi yang memegang kendali kuasa pemerintahan
tetap Suri Dirajo sebagai orang tua, sedangkan sang sapurba hanya sebagai
lambang.Untuk raja dengan permaisurinya dibuatkan istana “Balairung Panjang”
tempatnya juga memerintah. Istana ini konon kabarnya terbuat dari : tonggaknya
teras jelatang, perannya akar lundang, disana terdapat tabuh dari batang
pulut-pulut dan gendangnya dari batang seleguri, getangnya jangat tuma,
mempunyai cenang dan gung, tikar daun hilalang dsb. Karena Pariangan makin
lama makin ramai juga Sang Sapurba pindah ke tempat yang baru di Batu Gedang.
Seorang hulubalang yang diperintahkan melihat-lihat tanah-tanah baru membawa
pedang yang panjang. Banyak orang kampung yang mengikutinya. Mereka menuju ke
arah sebelah kanan Pariangan. Terdapatlah tanah yang baik, lalu dimulai
menebang kayu-kayuan dan membuka tanah-tanah baru. Selama bekerja hulubalang
itu menyandarkan pedang yang panjang itu pada sebuah batu yang besar. Banyak
sekali orang yang pindah ke tempat yang baru itu. Mereka berkampung disitu, dan
kampung baru tempat menyandarkan pedang yang panjang itu, sampai sekarang masih
bernama Padang Panjang. Lama kelamaan Padang Panjang itu jadi ramai
sekali. Dengan demikian Pariangan dengan Padang Panjang menjadi sebuah negeri,
negeri pertama di seedaran Gunung Merapi di seluruh Batang Bengkawas, yaitu
negeri Pariangan Padang Panjang. Untuk kelancaran pemerintahan perlu diangkat
orang-orang yang akan memerintah dibawah raja. Lalu bermufakatlah raja dengan orang-orang
cerdik pandai. Ditanam dua orang untuk Pariangan dan dua orang pula untuk
Padang Panjang. Masing-masing diberi pangkat “penghulu” dan bergelar “Datuk”. ·
Dt. Bandaro Kayo dan Dt. Seri Maharajo untuk Pariangan · Dt. Maharajo Basa dan
Dt. Sutan Maharajo Basa untuk Padang Panjang. Orang-orang yang berempat itulah
yang mula-mula sekali dijadikan penghulu di daerah itu. Untuk rapat dibuat
Balai Adat. Itulah balai pertama yang asal sebelum bernama Minangkabau di
Pariangan.
5. Sikati Muno
Seorang orang jahat yang datang dari negeri
seberang tiba pula di daerah itu. Karena tubuhnya yang besar dan tinggi bagai
raksasa ia digelari orang naga “Sikati Muno” yang keluar dari kawah Gunung
Merapi. Rakyat sangat kepadanya dan didongengkan mereka, bahwa naga itu
tubuhnya besar dan panjangnya ada 60 depa dan kulitnya keras. Ia membawa
bencana besar yang tidak terperikan lagi oleh penduduk. Kerjanya merampok dan
telah merusak kampung-kampung dan dusun-dusun. Padi dan sawah diladang habis
dibinasakannya. Orang telah banyak yang dibunuhnya, laki-laki, perempuan dan
gadis-gadis dikorbankannya. Keempat penghulu dari Pariangan-padang Panjang
diutus Suri Drajo menghadap Sang Sapurba di Batu Gedang tentang kekacauan yang
ditimbuklan oleh Sikati Muno. Untuk menjaga prestisenya sebagai seorang
semenda, Sang Sapurba lalu pergi memerangi Sikati Muno. Pertarungan hebat pun
terjadi berhari-hari lamanya. Pedang Sang Sapurba sumbing-sumbing sebanyak
seratus sembilan puluh. Akhirnya naga Sikati Muno itu mati dibunuh oleh Sang
Sapurba dengan sebilah keris. Keris tersebut dinamakan “Keris Sikati Muno”,
keris bertuah, tak diujung pangkal mengena, jejak ditikam mati juga. Sejak
itu amanlah negeri Pariangan-Padang Panjang, dan semakin lama semakin bertambah
ramai. Oleh sebab itu Sang Sapurba memerintahkan lagi mencari tanah-tanah baru.
Pada suatu hari raja sendiri pergi keluar, melihat-lihat daerah yang baik
dijadikan negeri. Dia berangkat bersama-sama dengan pengiring-pengiringnya. Ia
sampai pada suatu tempat mata air yang jernih keluar dari bawah pohon tarab.
Sang Sapurba berpikir, tanah itu tentu akan subur sekali dan baik dijadikan
negeri. Lalu diperintahkannyalah membuka tanah-tanah baru ditempat itu. Sampai
sekarang tanah itu dinamakan Sungai Tarab. Kemudian hari jadi termasyhur, tempat
kedudukan “Pamuncak Koto Piliang” Dt. Bandaharo di Sungai Tarab. Selain itu
raja menemui pula setangkai kembang teratai di daerah itu, kembang yang jadi
pujaan bagi orang-orang Hindu. Raja menyuruh mendirikan sebuah istana di tempat
itu. Setelah istana itu siap raja lalu pindah bertahta dari Pariangan-Padang
Panjang ke tempat yang baru itu, yang kemudian dinamakan negeri Bungo
Satangkai, negeri yang kedua sesudah Pariangan-Padang Panjang. (Sumber
: Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo Minangkabau)
2. KERAJAAN MINANGKABAU BARU
Pusat kerajaan kembali lagi ke Pariangan
Padang Panjang disebut awal masa kerajaan Minangkabau Baru. Sejak inilah
diciptakan dan dikukuhkan aturan adat Minangkabau yang kita amalkan sampai
sekarang. Walaupun telah berganti musim adat Minangkabau tetap terpakai
disebut; Tidak lakang oleh panas, tidak lapuk oleh hujan. Siapapun diantara
putra-putri Minangkabau yang dengan sengaja melanggar aturan adat itu, akan
tersisih hidupnya dalam keluarga sendiri. Tahun 1127, Sultan Sri Maharaja
Diraja menikah dengan puti Indo Jelita, yakni adik kandung dari Datuk Suru
Dirajo. Setelah 14 tahun menikah, ternyata belum juga mendapat keturunan. Maka
atas sepakat dewan kerajaan, Sultan Sri Maharaja Diraja menikah lagi dengan
Puti Cinto Dunia. Setelah dua tahun menikah dengan Puti Cinto Dunia, tidak ada
juga tanda-tanda kehamilan Puti tsb. Maka Sultan menikah lagi dengan Puti
Sedayu. Atas rahmat Tuhan, tahun 1147, lahirlah Sultan Paduko Basa dari
permaisuri Puti Indo Jelito, yang kemudian diangkat sebagai Raja Minangkabau,
bergelar Datuk Ketemanggungan. Tahun itu juga lahir pula Warmandewa dari Puti
Cinto Dunia, yang kemudian bergelar Datuk Bandaharo Kayo. Tahun 1148, lahir
lagi Reno Shida dari Puti Sedayu, yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Basa.
Dengan demikian telah 3 orang putra Raja, masing-masing dari tiga orang
ibu. Tahun 1149, Sultan sri Maharaja Diraja mangkat dan waktu itu anak
raja yang tertua masih berusia 2 tahun. Atas sepakat dewan kerajaan, Ibu Suri
Puti Indo Jelito, langsung memegang tampuk kerajaan Minangkabau sementara
menunggu Sutan Paduko Basa menjadi dewasa. Tugas harian dilaksanakan oleh tiga
pendamping raja yakni Datuk Suri Dirajo, Cetri Bilang Pandai dan Tantejo
Gurano. Karena kasih sayang Datuk Suri Puti Indo Jelito menjanda, lalu
dinikahkan dengan Cetri Bilang Pandai. Dari perkawinannya itu melahirkan 5
orang anak :
·
Jatang Sutan
Balun bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang (lahir 1152)
·
Kalap Dunia bergelar
Datuk Suri Maharajo nan Banego-nego (lahir 1154)
·
Puti Reno
Judah lahir 1157, kemudian dibawa oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang ke Lima Kaum
untuk keturunan kemenakannya nan menjadi penghulu
·
Puti Jamilan
lahir 1159, kemudian dibawa Datuk Ketemanggungan ke Sungai Tarab dan ke Bunga
Setangkai untuk keturunannya nanti menjadi raja dan penghulu
·
Mambang Sutan
lahir th 1161, setelah berumur 4 th bergelar Datuk Suri Dirajo menggantikan
gelar mamaknya (abang dari Puti Indo Jelito)
Mambang Sutan merupakan kemenakan pertama di
Minangkabau yang menerima gelar dari mamaknya. Tahun 1165 yakni sewaktu Sutan
Paduko Basa telah berumur 18 tahun, beliau diangkat sebagai penghulu bergelar
Datuk Ketumanggungan, sekalipun menduduki tahta kerajaan Minangkabau, pengganti
raja yang telah 16 tahun mengemban tugas dari ibunya Puti Indo Jelito. Selain
itu, semua anak laki-laki Sultan Sri Maharaja Diraja dinobatkan pula menjadi
penghulu.Tahun 1174 kerajaan Minangkabau baru memperluas daerah adatnya ke Sungai
Tarab, Lima Kaum dan Padang Panjang. Masing-masing daerah diduduki oleh seorang
penghulu anak dari tiga orang istri Sultan Sri Maharaja Diraja. Karena
kepadatan penduduk daerah Pariangan maka tahun 1186-1192 diadakan perpindahan
penduduk, maka terbentuklah Luhak Nan Tigo. Pada masing-masing luhak
dibentuk beberapa kelarasan dan pada kelarasan dibentuk pula beberapa suku.
Adapun suku dalam daerah kerajaan Minangkabau diatur menurut garis keturunan
ibu. Siapapun bapak dari seorang anak atau apapun pangkat bapaknya, namun suku
anaknya menurut suku ibunya. Untuk mengukuhkan berdirinya suku, maka harta
pusaka dari nenek, diwariskan kepada ibun dan dari ibu diwariskan pula kepada
anak perempuan. Aturan adat yang demikian disebut Matrilinial. Hanya dua daerah
di dunia ini yang memakai aturan Matrilinial. Satu didaerah pedalaman Hindia,
asal nenek moyangnya dahulu 2000 tahun sebelum masehi. Dan satu lagi berkembang
di Sumbar. Bagi perempuan harta pusaka bukan untuk kepentingan pribadi, tapi
untuk jaminan hidup keturunan suku. Pada tahun 1292, cicit dari Puti
Jamilan, bernama Putri Dara Jingga yang pemangku Putri Mahkota, dinikahkan
dengan Mahisa Anabrang, Panglima kerajaan Singhasari, keluarga dari Raja
Kartanegara. Sebelum menikah terlebih dahulu Mahisa di-islamkan. Tahun 1293
Puti Dara Jingga sedang hamil, pergi mengikuti suaminya pulang ke Singhasari
yang dipanggil oleh raja Pertama Majapahit (Raden Wijaya). Putri Dara Jingga
membawa adik seayah dengannya yaitu Puti Dara Petak untuk pengasuh anaknya yang
akan lahir. Beberapa bulan dikerajaan Majapahit yang mengambil alih kerajaan
Singhasari itu, lahirlah anak dari Puti Dara Jingga yang diberi nama
Adityawarman. Puti Dara Petak, dinikahi oleh Raja Majapahit (Raden
Wijaya). Puti Dara Petak berubah nama menjadi Diyan Sri Tribuaneswari. Walaupun
telah menjadi istri Raja Majapahit, Puti Dara Petak tetap mengasuh Adityawarman
di kerajaan Majapahit. Karena Datuk Ketumanggungan telah sangat tua, maka
tahun 1295, Puti Dara Jingga dipanggil pulang ke Minangkabau untuk menjadi Raja
di Minangkabau dengan panggilan Bundo Kanduang. Anak Bundo Kanduang yang
bernama Adityawarman tetap tinggal dikerajaan Majapahit, karena Puti Dara Petak
tidak mau melepasnya pulang, ingin terus mengasuh anak kakaknya. Setelah
Bunda Kandung menjadi Raja Minangkabau, memanglah Datuk Ketumanggungan mangkat
dalam usia 149 tahun dan disusul oleh meninggalnya Datuk Perparih Nan Sebatang
dalam usia 146 tahun. Si Kambang Bendahari (dayang-dayang utama dari Bunda
Kandung) dinikahkan dengan Selamat Panjang Gobang (1292) yakni seorang diplomat
utusan dari kerajaan Cina (khubilai Khan). Sebelum menikah terlebih dahulu
Selamat Panjang Gombak di-Islamkan. Perkawinan itu melahirkan seorang anak
bernama Cindur Mato th 1294. Cindur Mato diasuh ilmu perang oleh Mahisa
Anabrangyang yang teringat akan anak kandungnya Adityawarman jauh di Majapahit.
Selain itu Cindur Mato dididik ilmu silat pula oleh ayah kandungnya Selamat
Panjang Gombak. Maka menjadilah Cindur Mato seorang pendekar yang tangguh dan
Panglima kerajaan Minangkabau yang tiada tandingan dizamannya. Adityawarman
sendiri yang Putra Mahkota Kerajaan Minangkabau, dididik ilmu perang dan ilmu
kerjaan oleh Majapahit. Adityawarman pernah menjadi Wirdamatri yang merupakan
predikat setaraf dengan Mpu Nala dan Maha Patih. Karena itu Adityawarman salah
seorang Tri Tunggal Kerajaan Majapahit. Setelah dewasa pulanglah
Adityawarman menemui Bundo Kandung dan kawin dengan Puti Bungsu (anak mamaknya
Rajo Mudo) dari Ranah Sikalawi-Taluk Kuantan, sebelum menikah Adityawarman yang
menganut Budha, terlebih dahulu di-Islamkan. Pada tahun 1347 Adityawarman
dinobatkan menjadi Raja Minangkabau bergelar Dang Tuanku (Sutan Rumandung).
Pernikahan Adityawarman dengan Puti Bungsu melahirkan anak yang bernama
Ananggawarman. Gahah Mada pernah marah kepada Adityawarman karena tidak
mau takluk kepada Majapahit. Tapi Adityawarman tidak segan kepada Gajah Mada,
karena mereka sependidikan. Gajah Mada mencoba menyerang Minangkabau pada th
1348, tapi gagal, malah Adityawarman pernah membantu Majapahit menaklukkan
Bali. Sewaktu Minangkabau dibawah pimpinan Ananggawarman tahun 1375-1417,
pertahanan kerajaan Minangkabau telah sangat kuat. Patih Wikrawardhana
dikerajaan Majapahit, masih mencoba menyerang kerajaan Minangkabau tahun 1409,
tapi tetap tidak berhasil. Itu merupakan serangan yang terakhir terhadap
Minangkabau. Kalau dizaman Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan
Sabatang, kerajaan Minangkabau terkenal dengan aturan adat dan filsafahnya,
maka dizaman Bundo Kanduang, Adityawarman dan Ananggawarman kerajaan
Minangkabau terkenal dengan keahlian Cindur Mato sebagai panglima
perangnya. Sesudah Ananggawarman tidak terdengar lagi kegiatan Raja
Minangkabau, mungkin karena raja dan penghulunya tidak lagi membuat ubahan,
baik untuk kerajaan, maupun untuk rakyat yang memang telah sempurna dibentuk
oleh cerdik pandai terdahulu. Demikian sempurnanya aturan adat dikerjakan
Minangkabau sangat pula membantu pelaksanaan aturan adat itu, karena adat
Minangkabau disusun bersendi syarak (agama Islam) dan syarak bersendi
Kitabullah.
(Sumber : Kerajaan Minangkabau – Jamilus
Jamin)
3. Asal Usul Kata Minangkabau
Orang-orang Majapahit tidak ketinggalan
mencoba kecerdasan dan kecerdikan orang-orang dari Gunung Merapi ini. Pada
suatu hari mereka membawa seekor kerbau besar dan panjang tanduknya, kecil
sedikit dari gajah. Mereka ingin mengadakan pertandingan adu kerbau.
Ajakan mereka itu diterima baik oleh kedua datuk yang tersohor kecerdikannya
dimana-mana itu, yaitu Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang.
Taruhannya adalah seperti dulu-dulu juga, yakni kapal pendatang dengan segala
isinya, dan taruhan datuk yang berdua itu ialah kerajaan mereka
sendiri. Waktu tiba saatnya akan mengadu kerbau, setelah kerbau Majapahit
dilepaskan di tengah gelanggang, orang banyak riuh bercampur cemas melihat
bagaimana besarnya kerbau yang tidak ada tandingannya di Pulau Perca waktu
itu. Dalam keadaan yang menegangkan itu, pihak orang-orang negeri itupun
mengeluarkan kerbaunya pula. Dan alangkah herannya dan kecutnya hati orang
banyak itu melihat mereka mengeluarkan seekor anak kerbau. Anak kerbau itu
sedang erat menyusu, dan orang tidak tahu, bahwa anak kerbau itu telah
bebearapa hari tidak doberi kesempatan mendekati induknya. Ketika
melihat kerbau besar di tengah gelanggang anak kerbau itu berlari-lari
mendapatkannya yang dikria induknya dengan kehausan yang sangat hendak menyusu.
Dimoncongnya terikat sebuah taji atau minang yang sangat tajam. Ia menyeruduk
ke bawah perut kerbau besar itu, dan menyinduk-nyinduk hendak menyusu. Maka
tembuslah perut kerbau Majapahit, lalu lari kesakitan dan mati kehabisan
darah. Orang-orang Majapahit memprotes mengatakan orang-orang negeri itu
curang. Kegaduhan pun terjadi dan hampir saja terjadi pertumpahan darah. Tetapi
dengan wibawanya Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang membawa
orang-orang itu ke balai persidangan. Disanalah Dt. Parpatih Nan Sabatang
menangkis tuduhan-tuduhan orang-orang Majapahit. Akhirnya orang-orang Majapahit
pemgakui kealpaan mereka tidak mengemukakan persyaratan-persyaratan antara
kedua belah pihak sebelum mengadakan pertandingan. Sejak itu tempat
mengadu kerbau itu sampai sekarang bernama Negeri Minangkabau. Dan kemudian
hari setelah peristiwa kemenangan mengadu kerbau dengan Majapahit itu
termasyhur kemana-mana, wilayah kekuasaan orang-orang yang bernenek moyang ke
Gunung Merapi dikenal dengan Alam Minangkabau. Diceritakan pula kemudian
rumah-rumah gadang diberi berginjong seperti tanduk kerbau sebagai lambang
kemenangan. (Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo
Minangkabau)
4. Hubungan Minangkabau dengan Negeri
Sembilan
Datuk Perpatih nan Sebatang pada zaman dahulu
konon kabarnya sudah pernah berlayar dan sampai ke Melaka serta singgah di
Negeri Sembilan.
Negeri Sembilan sekarang
Negeri Sembilan termasuk salah satu negara
bagian yang menjadi negara Federasi Malaysia. Sebelah selatannya terletak
Gubernemen Melaka sebelah ke timur dengan negara bagian Jojor, sebelah utara
dengan Pahang dan sebelah barat dengan Selangor. Dalam tahun 1970
negara bagian yang luasnya 2.580 mil persegi ini mempunyai penduduk lebih dari
setengah juta jiwa dengan penduduk berkebangsaan Melayu lebih sedikit dari
bangsa Cina. Mayoritas di Malaysia terdiri dari tiga rumpun bangsa : Melayu, Cina
dan Keling. Penduduk bangsa Melayu yang kira-kira seperempat juta itu
sebahagian besar masih mempunyai hubungan dengan daerah asalnya yaitu
Minangkabau. Masih banyak adat istiadat Minangkabau yang masih belum hilang
oleh mereka dan sebagian masih dipergunakan dalam tata cara hidupnya. Malahan
beberapa keterangan dan adat-adat yang di Minangkabau sendiri sudah dilupakan
pada mereka masih tetap segar dan masih dipergunakan. Hubungan sejarah ini
sudah bermula pada pertengahan abad kelima belas. Patun mereka
berbunyi : Leguh legah bunyi pedati Pedati orang pergi ke
PadangGenta kerbau berbunyi jugaBiar sepiring dapat pagiWalau sepinggan dapat
petangPagaruyung teringat juga Negeri Sembilan sebuah kerajaan tetapi
pemerintahannya berdasarkan Konstitusi yang disana dikatakan Perlembagaan
Negeri. Badan Legislatifnya bernama “Dewan Perhimpunan/Perundingan Negeri yang
mempunyai anggota 24 orang. Anggota-anggota ini dipilih oleh rakyat dalam
Pemilihan Umum yang disini dikatakan : Pilihan raya. Pelaksanaan
pemerintahan dilaksanakan oleh Menteri Besar yang didampingi oleh 8 orang
anggotanya yang bernama : “Anggota Majelis Musyawarah Kerajaan Negeri”. Gelaran
raja ialah Duli Yang Mahamulia Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan. Dalam
tahun 1970 itu yang memerintah ialah : Tuanku Ja’far ibni Almarhum Tuanku Abdul
Rahman dan beliau ialah keturunan yang kesebelas dari Raja Malewar yang berasal
dari Minangkabau dan memerintah antara tahun 1773 – 1795. Pemerintahan
Negeri Sembilan terbagi atas 6 daerah seperti kabupaten di Indonesia, yaitu:
Seremban, Kuala Pilah, Port Dickson, Jelebu, Tampin dan Rembau. Ibukotanya
ialah Seremban. Istana raja terdapat di ibukota Seremban ini bernama : Istana
Seri Menanti. Tetapi arsitekturnya tidak lagi dengan cara Minang melainkan
sudah berkomposisi antara arsitektur Minang dan Melayu.
Kedatangan bangsa Minangkabau
Sebelum Negeri Sembilan bernama demikian di
Melaka sudah berdiri sebuah kerajaan yang terkenal dalam sejarah. Dan pelabuhan
Melaka menjadi pintu gerbang untuk menyusup kedaerah pedalaman tanah
Semenanjung itu. Maka sebulum berdiri Negeri Sembilan datanglah rombongan demi
rombongan dari Minangkabau dan tinggal menetap disini.
Rombongan Pertama
Mula-mula datanglah sebuah rombongan dengan
pimpinan seorang datuk yang bergelar Datuk Raja dengan isterinya Tok Seri.
Tetapi kurang jelas dari mana asal mereka di Minangkabau. Mereka dalam
perjalanan ke Negeri Sembilan singgah di Siak kemudian meneruskan perjalanan
menyeberang Selat Melaka terus ke Johor. Dari Johor mereka pergi ke Naning
terus ke Rembau. Dan akhirnya menetap disebuah tempat yang bernama Londar Naga.
Sebab disebut demikian karena disana ditemui kesan-kesan alur naga. Sekarang
tempat itu bernama Kampung Galau.
Rombongan Kedua
Pimpinan rombongan ini bergelar Datuk Raja
juga dan berasal dari keluarga Datuk Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarab.
Rombongan ini menetap disebuah tempat yang kemudian terkenal dengan Kampung
Sungai Layang.
Rombongan Ketiga
Rombongan ketiga ini datang dari Batu Sangkar
juga, keluarga Datuk Makudum Sati di Sumanik. Mereka dua orang bersaudara:
Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Rombongan ini dalam perjalanannya singgah
juga di Siak, Melaka, dan Rembau. Kemudian membuat sebuah perkampungan yang
bernama Tanjung Alam yang kemudian berganti dengan Gunung Pasir.
Rombongan Keempat
Rombongan ini datang dari Sarilamak
(Payakumbuh), diketuai oleh Datuk Putih dan mereka menepat pada Sutan Sumanik
yang sudah duluan membuka perkampungan di Negeri Sembilan ini. Datuk Putih
terkenal sebagai seorang pawang atau bomoh yang ahli ilmu kebatinan. Beliaulah
yang memberi nama Seri Menanti bagi tempat istana raja yang sekarang
ini. Kemudian berturut-turut datang lagi rombongan lain-lainnya antaranya
yang dicatat oleh sejarah Negeri Sembilan : Rombongan yang bermula mendiami
Rembau datangnya dari Batu Hampar (Payakumbuh) dengan pengiringnya dari Batu
Hampar sendiri dan dari Mungka. Nama beliau ialah Datuk Lelo Balang. Kemudian
menyusul lagi adik dari Datuk Lelo Balang bernama Datuk Laut Dalam dari Kampung
Tiga Nenek. Walaupun penduduk Negeri Sembilan mengakui ajaran-ajaran
Datuk Perpatih nan Sebatang yang sangat populer disini tetapi mereka tidak
membagi persukuan atas 4 bagian seperti di Minagkabau. Mungkin disebabkan
situasi dan perkembangannya sebagai kata pepatah : Dekat mencari suku jauh
mencari Hindu, maka suku-suku di Negeri Sembilan berasal dari luhak dari tempat
datang mereka itu atau negeri asal datangnya. Berdasarkan asal
kedatangan mereka yang demikian terdapatlah 12 suku di Negeri Sembilan yang
masing-masing adalah sbb;
1.
Tanah Datar
2.
Batuhampar
3.
Seri Lemak
Pahang
4.
Seri Lemak
Minangkabau
5.
Mungka
6.
Payakumbuh
7.
Seri
Malanggang
8.
Tigo Batu
9.
Biduanda
10.
Tigo Nenek
11.
Anak Aceh
12.
Batu Belang
Fakta-fakta dan problem
Sejarah Pada sebuah tempat yang bernama Sungai
Udang kira-kira 23 mil dari Seremban menuju Port Dickson terdapat sebuah makam
keramat. Disana didapati juga beberapa batu bersurat seperti tulisan batu
bersurat yang terdapat di Batu Sangkar. Orang yang bermakam disana bernama
Syekh Ahmad dan berasal dari Minangkabau. Ia meninggal dalam tahun 872 H atau
1467 Masehi. Dan masih menjadi tebakan yang belum terjawab, mengapa kedatangan
Sekh itu dahulu kesini dan dari luahk mana asalnya.
Raja berasal Minangkabau
Dalam naskah pengiriman raja-raja yang delapan
orang antaranya dikirimkan ke Rembau, Negeri Sembilan bernama Malenggang Alam.
Tetapi bilamana ditinjau sejarah negeri Sembilan raja Minangkabau pertama
dikirimkan kesini Raja Mahmud yang kemudian bergelar Raja Malewar. Raja
Malewar memegang kekuasaan antara tahun 1773-1795. Beliau mendapat 2 orang anak
Tengku Totok dan puteri bernama Tengku Aisah. Beliau ditabalkan di Penajis
Rembau dan kemudian pindah ke istana Seri Menanti. Sehingga sekarang masih
populer pepatah yang berbunyi : Be raja ke JohorBertali ke SiakBertuan ke
Minangkabau Kedatangan beliau ke Negeri Sembilan membawa selembar rambut
yang kalau dimasukkan ke dalam sebuah batil atau cerana akan memenuhi batil
atau cerana itu. Benda pusaka itu masuh tetap dipergunakan bila menobatkan
seorang raja baru. Yang mengherankan kenapa sesudah meninggalnya Raja Malewar
dalam tahun 1795 tidak diangkat puteranya menjadi raja melainkan sekali lagi
diminta seorang raja dari Minangkabau. Dan dikirimlah Raja Hitam dan
dinobatlkan dalam tahun 1795. Raja Hitam kawin dengan puteri Raja Malewar yang
bernama Tengku Aisyah sayang beliau tidak dikarunia putera. Raja Hitam
kawin dengan seorang perempuan lain bernama Encek Jingka. Dari isterinya itu
beliau mendapat 4 orang putera/puteri bernama : Tengku Alang Husin, Tengku
Ngah, Tengku Ibrahim dan Tengku Alwi. Dan ketika beliau wafat dalam tahun 1808
mengherankan pula gantinya tidaklah diangkat salah seorang
puteranya. Tetapi sekali lagi dikirimkan perutusan ke Pagaruyung untuk
meminta seorang raja baru. Dan dikirimlah Raja Lenggang dari Minagkabau dan besar
kemungkinan inilah Raja Melenggang Alam yang dikirimkan dari Minangkabau dan
tersebut dalam naskah pengiriman raja-raja yang Delapan di
Minangkabau. Raja Lenggang memerintah antara tahun 1808 sampai tahun 1824.
Raja Lenggang kawin dengan kedua puteri anak raja Hitam dan mendapat putera dua
orang bernama : Tengku Radin dan Tengku Imam. Ketika raja Lenggang
meninggal dinobatkanlah Tengku Radin menggantikan almarhum ayah beliau. Dan
inilah raja pertama Negeri Sembilan yang diangkat oleh Pemegang Adat dan Undang
yang lahir di Negeri Sembilan. Dan keturunan beliaulah yang turun temurun
menjadi raja di Negeri Sembilan. Raja Radin digantikan oleh adiknya Raja Imam
(1861-1869). Dan selanjutnya raja-raja yang memerintah di Negeri Sembilan :
Tengku Ampuan Intan (Pemangku Pejabat) 1869-1872, Yang Dipertuan Antah
1872-1888, Tuanku Muhammad 1888-1933, Tuanku Abdul Rahman 3/8/1933-1/4/1960,
Tuanku Munawir 5/4/1960-14/4/1967, Tuanku Ja’far dinobatkan 18/4/1967.
Terbentuknya Negeri Sembilan
Semasa dahulu kerajaan negeri Sembilan
mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Minangkabau. Yang menjadi raja dinegeri
ini asal berasal dari keturunan Raja Minangkabau. Istananya bernama Seri
Menanti. Adat istiadatnya sama dengan Minangkabau, peraturan-peraturannya
sebagiannya menurut undang-undang adat di Minangkabau. Mereka mempunyai
suku-suku seperti orang Minangkabau tetapi berbeda cara pemakaiannya. Perpindahan
penduduk ini terjadi bermula pada abad ke :XIV yaitu ketika pemerintah
menyarankan supaya rakyat memperkembang Minangkabau sampai jauh-jauh diluar
negeri. Mereka harus mencari tanah-tanah baru, daerah-daerah baru dan kemudian
menetap didaerah itu. Setengahnya yang bernasib baik dapat menemui tanah
kediaman yang subur dan membuka tanah dan membuat perkampungan disitu. Ada pula
yang bersatu dengan rakyat asli yang ditemui merka dan menjadi pemimpin disana.
Sudah tentu adat-adat, undang-undang, kelaziman dinegeri asalnya yang
dipergunakannya pula dinegeri yang baru itu. Sebagai sudah diuraikan
orang-orang Minangkabau itu menjalani seluruh daerah : ke Jambi, Palembang,
Indragiri, Taoung Kanan dan Tapung Kiri, Siak dan daerah lainya. Sebagiannya
menyeberangi Selat Melaka dan sampai di Negeri Sembilan. Pada abad
ke XVI pemerintahan negeri mereka disana sudah mulai tersusun saja. Mereka
mendirikan kerajan kecil-kecil sebanyak 9 buah dan kesatuan kerajan kecil-kecil
itu mereka namakan NEGERI SEMBILAN. Negara ini terjadi sewaktu Minangkabau
mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil ini dan diperlindungkan dibawah kerajan
Johor. Setelah negara kesatuan ini terbentuk dengan mufakat bersama dengan
kerajaan Johor dimintalah seorang anak raja Pagaruyung untuk dinobatkan menjadi
raja di Negrei Sembilan itu. Pada waktu itulah bermula pemerintahan Yang
Dipertuan Seri Menanti. Asal usul anak negeri disitu kebanyakan dari Luhak
Lima Puluh Kota yaitu dari : Payakumbuh, Sarilamak, Mungka, Batu Balang, Batu
Hampar, Simalanggang dan sebagian kecil dari Luhak Tanah Datar. Dari
negeri-negeri mana mereka berasal maka nama-nama negeri itulah menjadi suku mereka.
Sebagian tanda bukti bahwa rakyat Negeri Sembilan itu kebanyakan berasal dari
Luhak Lima Puluh Kota sampai sekarang masih terdapat kata-kata adat yang
poluler di Lima Puluh Kota : “Lanun kan datang merompak, Bugis kan datang
melanggar”. Kata-kata adat ini sering tersebut dalam nyanyian Hikayat Anggun
nan Tunggal Magek Jabang. Di tanah Melaka kata-kata ini menjadi kata sindiran
atau cercaan bagi anak-anak nakal dan dikatakan mereka “anak lanun” atau anak
perompak. Kalau dibawa kepada jalan sejarah diatas tadi, maka yang
dimaksud dengan “lanun” itu ialah perompak, rakyat dari Raja Daeng Kemboja yang
hendak merampas Negeri Sebilan. Dan Bugis adalah nama negeri asal Daeng Kemboja
tadi. Dan memang aneh, kata lanun yang jadi buah nyanyian oleh rakyat Lima Puluh
Kota ini tidak dikenal oleh rakyat Luhak Agam dan sedikit oleh rakyat rakyat
Luhak Tanah Datar. Karena memang fakta sejarah keturunan anak negeri Sembilan
itu sebagian besar berasal dari Luhak Lima Puluh Kota. Nama suku-suku rakyat
disana menjadi bukti yang jelas. Oleh karena Sultan Johor sudah memberikan
bantuannya dalam melindungi rakyat Negeri Sembilan ini dari jarahan lanun atau
Daeng Kemboja, disebabkan ini pulalah Yang Dipertuan Pagaruyung memberikan
bantuan kepada Sultan Johor dalam memberikan bantuan ikut bertempur di Siak
untuk memerangi bangsa Aceh. Maka hubungan yang demikian rapat semenjak
berabad-abad itu menjadikan hubungan antara negara yang akrab : Negeri Sembilan
pada khususnya, Indonesia – Malaysia pada umumnya.
(Sumber : Minangkabau Tanah Pusaka – Tambo
Minangkabau)
assalamualaikum saya pelajar dari tingkatan 6 di smk dato sheikh ahmad temiang . saya diberikan tugas untuk membuat kajian mengenai adat2 masyarakat melayu minangkabau terutama sekali adat perkawinan dan adat mengenai penghulu . sy ingin meminta tolong kpd tuan jika boleh membantu . terima kasih . disini sy tinggalkan emel sy iszandersikin@gmail.com
ReplyDeleteassalaamiallaikum.....saya pernah mendengar di singkarak jaman dahulu ada seorang bergelar lenggang hitam apakah beliau masih termasuk masih ada hubungan dengan raja hitam atau raja lenggang mohon penjelasanya... sebelumnyakami ucapkan terima kasih
ReplyDelete